author: Nabila Rosellini
islustrasi: google.com
Era digital membawa perubahan besar dalam konsumsi media di masyarakat. Kemudahan dan kecepatan akses yang disuguhkan memberi pengaruh beasar pada kencenderungan konsumsi media. Mengutip dari Tempo.co , di Indonesia sendiri Dewan Pers memperkirakan ada 43.400 media siber yang tercatat namun yang mendaftarkan sebagai media professional dan lolos syarat pendataan pada 2014 hanya 211 media saja.
Media onine yang identik dengan kecepatan poduksi berita ini kerap berimbas pada kualitas dan pengabaian kode etik jurnalistik yang berlaku. Karena terkadang bagi media lalu lintas pengunjung media daringnya menjadi yang paling vital.
Contohnya pelanggaran yang pernah dilakukan oleh portal Media Indonesia (mediaindonedia.com) pada Februari lalu. Berita berjudul "Pemenang Tender Ditolak, SBY Bertindak" resmi diputuskan melanggar kode etik jurnalistik pasal 1 dan 2 oleh Dewan Pers. judul berita tersebut dianggap tendensius dan menyudutkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Keputusan akhirnya, media tersebut dinilai tidak berimbang , tidak melakukan uji informasi dan mengandung opini yang menghakimi.
Dewan Pers juga memerintahkan Mediaindonesia.com untuk memuat hak jawab dari pengadu disertai permintaan maaf kepada pengadu dan masyarakat luas selambat-lambatnya 3x24 jam sejak menerima konsep hak jawab dari pengadu dan ditautkan ke berita yang diadukan.
Kasus tersebut menggambarkan bahwa media besar seperti Media Indonesia pun tidak liput dari kelalaian kode etik. Terutama pemberitaan bermuatan politik yang kerap disalahgunakan untuk menggiring opini publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor timeless menjadi ‘dagangan’ utama media yang menggunakan platform dunia maya.
Selain itu pola konsumsi media online pun menjadi penyumbang suburnya kasus clickbait. Masyarakat cenderung memilih berita yang memiliki judul paling menarik dan tidak jarang kontroversial untuk dibaca. Paling cepat dan berjudul paling ‘menyulut’ adalah bumbu utama penyajian berita online saat ini. Akhirnya semua diksi dihalalkan demi mendulang jumlah view pada berita termasuk pemberian judul yang mengandung ambiguitas.
Namun segala bentuk tuntutan konsumen dan pengelola media tidak dapat membernarkan kelalaian jurnalis maupun editor. Jurnalis tidak semata-mata memenuhi kebutuhan publik akan informasi tetapi juga mengedukasi. Berlaku bijaksana dan sportif pada narasumber seharusnya menjadi mental dasar profesionalisme seorang wartawan dan lembaga media. untuk mengatisipasi kasus seperti ini terjadi standardisasi kualitas jurnalis perlu diperhatikan lebih.
Selain itu tidak hanya jurnalis dan pelaku media yang wajib mengkoreksi diri. Masyarakat juga wajib diberi edukasi tentang bagaimana sebaiknya mengkonsumsi media dengan bijak. Literasi akan media perlu ditingkatkan agar mampu menseleksi media mana dan informasi seperti apa yang perlu dikonsumsi. Ketika suatu informasi mengabaikan etika jurnalistik demi menyampikan tendensi tertentu masyarakat perlu menyikapi dengan tidak menyebarkannya atau bahkan melaporkan kepada lembaga yang berkaitan.
Comments