Author : Sinta J. Kartika
Banyak yang mengatakan bahwa pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang dilandasi oleh passion atau hobi yang dibayar. Ungkapan tersebutlah yang dapat menggambarkan sosok pemilik kios kecil di Alun-alun Kidul, sekaligus seorang sinden Keraton Yogyakarta. Bernama Laras Maya (55 tahun), ia adalah salah satu tokoh kebudayaan yang bekerja dengan passion besar. Wanita yang kerap disapa Bu Laras ini sangat mencintai pekerjaannya dan budaya Jogja. Kecintaannya tersebut membuat Laras sangat setia pada profesinya sebagai sinden. Terhitung sudah lebih dari 10 tahun mengabdi pada Keraton, hingga saat ini Laras masih menjalaninya dengan bahagia dan penuh rasa syukur.
Dalam seminggu Laras Maya tampil di Keraton sebanyak tiga sampai empat kali. Sedangkan aktivitas di hari lain, ia menjadi seorang penjual di kios kecilnya yang berada di selatan Alun-alun Kidul. Di warung kecil tersebut ia menjual beberapa jenis makanan dan minuman kemasan, serta rokok dan bensin. Keberadaan kios ini sangat membantu keberlangsungan aktivitas Alkid. Mulai dari masyarakat sekitar, pedagang, maupun pengunjung, banyak yang datang untuk membeli sesuatu.
Keputusan untuk akhirnya merantau ke kota Yogyakarta, dan menjalani profesinya, menuntut Laras untuk hidup jauh dari keluarga dan suaminya yang tinggal di Gunung Kidul. Laras pulang ke kampung halamannya tersebut setiap seminggu sekali untuk menengok keluarga. Sebagai seorang istri dan ibu, keputusannya ini sangat patut diapresiasi. Demi mencari nafkah dan melestarikan kebudayaan sinden, beliau harus menghadapi jarak dan rindu setiap harinya. Saat ini, Laras tinggal di sebuah kontrakan kecil sebagai tempat tinggal sekaligus tempat membuka kios kecilnya.
“Saya menjadi sinden pertama karena suka. Sejak kecil saya suka berlatih jadi sinden. Yang kedua ya untuk memelihara budaya. Siapa lagi kalau bukan kita?” ungkap Laras ketika ditanya alasannya memilih profesi sinden.
Walaupun sangat mencintai budaya dan pekerjaannya, Laras tidak pernah memaksakan anak maupun cucu untuk mengikuti jejaknya. “Urusan pekerjaan, apalagi jadi sinden di jaman seperti ini, tidak bisa dipaksakan. Kuncinya harus ikhlas. Kalau terpaksa malah kasihan sama anak dan profesi sindennya sendiri,” jelas Laras. Menurutnya, menjadi sinden apabila tidak dijalani dengan hati yang ikhlas dan rasa senang yang tulus, justru akan sangat merugikan diri sendiri maupun lingkungan kerja. Bakat sinden dan seni yang ia miliki adalah pemberian dari sang nenek, namun saat ini anak dan cucunya memiliki pekerjaan dan cita-cita yang berbeda darinya. Ada yang sudah menjadi polisi dan ada yang bercita-cita menjadi dokter.
Apapun pekerjaan yang dimiliki dan diimpikan anak serta cucunya, sangat dihargai dan didukung. Laras justru merasa bangga, dengan profesinya yang tidak dipandang hebat oleh orang lain ini, ia mampu mendidik dan merawat anak-anaknya hingga sukses seperti sekarang. Baginya, pendidikan tetap harus diutamakan, sembari menghargai kebudayaan.
Tidak dapat dipungkiri, banyak masyarakat umum yang memandang sebelah mata pekerjaan seorang sinden. Walaupun begitu, ia mengaku bahwa pekerjaannya saat ini adalah sebuah keistimewaan untuknya. Keistimewaan dari segi psikologis sampai segi materil. “Jadi sinden di Keraton itu menyenangkan. Selain berkesempatan memelihara dan menumbuhkan budaya, kami sangat diperhatikan dengan baik oleh Sultan, seperti diberi gelar spesial, gaji pokok, tunjangan dan hal lain yang sangat membantu kehidupan kami,” ungkap Laras. Tahun ini ia baru saja mendapat gelar “kanjeng” dari Keraton, karena telah berhasil menjadi salah satu sinden senior.
Walaupun Keraton memiiki banyak tokoh dan pekerja di dalamnya, seperti penabuh gamelan, sinden, hingga abdi dalem, namun pihak Keraton selalu memberikan perlakuan yang baik kepada mereka semua. Pemberian tersebut tentunya sesuai dengan golongan, misalnya Laras sebagai salah satu senior sinden, apa yang didapatkannya melebihi para juniornya.
Senada dengan pernyataan Laras, salah seorang abdi dalem Keraton mengatakan bahwa mereka para pekerja maupun tokoh budaya Keraton mendapatkan gaji. Untuk vokalis atau sinden, mereka mendapatkan gaji dari Dana Keistimewaan DIY (DANAIS). “Setiap empat bulan sekali kami mendapat gaji 500 ribu rupiah,” ungkapnya. Honor yang didapatkan saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya, yang bisa hanya Rp 15.000,00 atau Rp 40.000,00 per bulan. Untuk seorang abdi dalem dan tokoh budaya seperti Laras, gaji bukanlah hal utama. “Kami semua bekerja bukan untuk digaji besar, kami bekerja untuk mengabdi,” tambahnya. Sekecil apa gaji yang diberikan tidak pernah menjadi masalah, karena mereka melakukan pekerjaannya dengan rasa cinta dan ketulusan pada budaya Yogyakarta.
Setiap bertugas tampil di Keraton, Laras Maya dan rekan-rekannya menggunakan pakaian adat lengkap, mulai dari jarik, kebaya, hingga penampilan rambut yang disanggul. Hal tersebut terkesan repot untuk sebagian orang, namun Laras mengaku sudah sangat terbiasa dan senang dalam menggunakannya. Pihak Keratonpun diketahu sering memberikan pakaian dan peralatan kepada abdi dalem maupun para penampil. “Kami diberi pakaian-pakaian, seperti jarik ini, kemarin baru saja dikasih dua, terus kebaya. Sering, kan untuk kostum penampilan di Keraton juga,” kata Laras.
Sebagai sebuah kota yang dikenal kuat akan budayanya, keputusan pemerintah dan Keraton Yogykarata atas pemberian DANAIS dan hal lain yang berbau mensejahterakan tokoh budaya sangatlah tepat. Eksistensi kebudayaan Yogyakarta dapat terus bertahan dan berkembang hingga saat ini salah satunya berkat tokoh-tokoh budaya yang berjasa seperti Laras Maya ini.
Selain pemerintah maupun Keraton, masyarakat luas perlu menghargai profesi dan jasa tokoh-tokoh budaya. Di era milenial seperti ini, apabila masyarakat, khususnya generasi muda melupakan kekayaan dan sosok pemelihara budaya Indonesia, seperti Laras, maka budaya Jogja akan cepat luntur bahkan hilang. Budaya sebagai salah satu yang menjadikan Jogja istimewa akan tergantikan oleh tradisi modern yang berkembang pesat saat ini. Dedikasi Laras dan rasa cintanya yang besar pada kebudayaan patut dijadikan contoh dan pelajaran generasi muda.
“Saya pernah merasa kecewa saat tampil di acara dan malah disepelekan sama anak muda yang menjadi panitianya, cuma diberi nasi putih tanpa nasi. Jadi saya berharap masyarakat saat ini lebih menghargai abdi dalem maupun pekerja Keraton seperti saya,” ungkap salah seorang penembang macapat yang ditemui di Keraton dan tidak ingin disebutkan namanya.
Senada dengan hal tersebut, Laras juga menyampaikan harapannya untuk masyarakat. “Saya berharap sinden dan semua budaya Jogja dapat terus bertahan, apalagi di zaman serba canggih ini. Walaupun banyak yang tidak ingin menjadi sinden, tapi saya berharap generasi muda mampu menghargai keberadaan sinden dan teman-teman saya lainnya,” tutupnya.
Selain pemerintah maupun Keraton, masyarakat luas perlu menghargai profesi dan jasa tokoh-tokoh budaya. Di era milenial seperti ini, apabila masyarakat, khususnya generasi muda melupakan kekayaan dan sosok pemelihara budaya Indonesia, seperti Laras, maka budaya Jogja akan cepat luntur bahkan hilang. Budaya sebagai salah satu yang menjadikan Jogja istimewa akan tergantikan oleh tradisi modern yang berkembang pesat saat ini. Dedikasi Laras dan rasa cintanya yang besar pada kebudayaan patut dijadikan contoh dan pelajaran generasi muda.
“Saya pernah merasa kecewa saat tampil di acara dan malah disepelekan sama anak muda yang menjadi panitianya, cuma diberi nasi putih tanpa nasi. Jadi saya berharap masyarakat saat ini lebih menghargai abdi dalem maupun pekerja Keraton seperti saya,” ungkap salah seorang penembang macapat yang ditemui di Keraton dan tidak ingin disebutkan namanya.
Senada dengan hal tersebut, Laras juga menyampaikan harapannya untuk masyarakat. “Saya berharap sinden dan semua budaya Jogja dapat terus bertahan, apalagi di zaman serba canggih ini. Walaupun banyak yang tidak ingin menjadi sinden, tapi saya berharap generasi muda mampu menghargai keberadaan sinden dan teman-teman saya lainnya,” tutupnya.
Comments