Author : Sinta J. Kartika
Di era milenial ini masyarakat sulit dipisahkan dari kehidupan modern. Kemajuan teknologi menyebabkan banyaknya budaya asing yang masuk dan mempengaruhi kehidupan masyarakat, salah satu akibatnya adalah lunturnya budaya asli bangsa Indonesia, termasuk bahasa, tata krama, dan adat istiadat. Melihat kondisi tersebut, seorang psikolog senior berdarah Jawa, Gamayanti beserta anak dan stafnya membentuk Omah Perden, sebuah sekolah atau lebih sering disebut sebagai rumah stimulasi dan pengembangan anak di Yogyakarta.
Nama Omah Perden berasal dari bahasa Jawa. Omah berarti rumah dan Perden berasal dari kata perdi yaitu diwulang wuruk amurih becike, yang artinya diajarkan atau dibiasakan untuk melakukan sesuatu yang baik. Terbilang masih baru, Omah Perden berdiri pada awal tahun 2017. Saat ini memiliki sepuluh pegawai yang terdiri dari pengajar dan tata kelelola sekolah. Sebagaian besar pengajar adalah sarjana psikologi.
Omah Perden bertujuan untuk menstimulasi perkembangan kognitif, emosi, bahasa, sosial, psikomotor, dan karakter berdasarkan rasa, disusun berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan dipersiapkan dengan memperhatikan tradisi dan budaya Nusantara, khususnya Jawa sebagai dasar dari media penyampaian. Program kegiatan Omah Perden terdiri dari merdi siwi (stimulasi anak), kawruh panggulowentah lare (pengasuhan anak untuk orang tua), merdi muda (program pengembangan diri remaja), nyandra kabisan (penggalian potensi, bakat dan minat) dan dolan kang nuju prana (wisata belajar). Sedangkan pembagian siswanya ada program kupu (8-12 bulan), iwak (1-2 tahun), bebek (3-4 tahun), dan trewelu (5-6 tahun). Kegiatan rumah stimulus ini berlangsung dari hari Senin hingga Jumat, berlokasi di Kota Baru Yogyakarta.
Sesuai definisi dan program-programnya, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa yang digunakan di Omah Perden. Hal ini tentu menjadi keunikan tersendiri mengingat saat ini, sekolah-sekolah modern mulai menerapkan penggunaan bahasa Inggris sejak dini. Seperti anak-anak selebriti yang berbahasa Inggris sejak duduk di taman kanak-kanak, maupun anak para pejabat negara yang tersorot. Dampaknya, saat ini anak-anak Indonesia lebih menguasai bahasa asing daripada bahasa bangsa dan sukunya sendiri. Bahkan banyak yang tidak dikenalkan sama sekali sedari kecil.
“Kami ingin kembali mengenalkan bahasa Jawa pada anak-anak. Usia di bawah sepuluh tahun seperti ini adalah waktu yang tepat untuk melatih mereka berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Kalau dari kecil mereka sudah terbiasa, sudah cinta, maka saat tumbuh dewasa nanti mereka akan lebih mudah mengingat, tetap bangga dengan bahasanya, walaupun harus dihadapkan dengan berbagai bahasa asing dan modern yang masuk,” ungkap Kinanthi salah satu guru Omah Perden.
Pengenalan bahasa Jawa pada anak dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Mulai dari kebiasaan menyapa satu sama lain setiap masuk kelas, “Sugeng enjing pripun kabare?”. Lagu-lagu dolanan Jawa yang rutin dinyanyikan bersama, tarian tradisional yang diperagakan bersama dalam kelas, pengenalan kosa kata melalui permainan dan permainan tradisional Jawanya sendiri, seperti engklek, cublak-cublak sueng serta masih banyak lagi. Di Omah Perden, tidak akan ditemukan penggunaan bahasa Inggris dalam kegiatan sehari-hari.
“Menurut kami, anak sudah ada fasenya sendiri kapan harus memulai untuk belajar bahasa asing. Kalau masih kecil begini, kita lebih wajib menanamkan budaya Jawa dan menerapkan bahasa asli Indonesia daripada bahasa Inggris. Anak-anak masih mudah dikenalkan karena belum terpengaruh dunia luar,” kata Kinanthi salah satu pengajar Omah Perden yang juga seorang sarjana Psikolgi UGM. Menurut mereka, seorang anak bisa dikenalkan dengan bahasa asing ketika duduk di bangku sekolah dasar dan seterusnya, semua ada tahapannya.
“Kalau dari kecil sudah diajarkan bahasa asing, jelas saja bahasa ibu dan suku mereka akan punah. Bagaimana nasib bangsa Indonesia kalau generasi penerusnya berbahasa asing semua?” tambah Kinanthi.
Selain bahasa, hal menarik lain dari Omah Perden adalah bentuk pembelajaran atau penyampaian materinya. Satu hal yang patut digaris bawahi dari rumah stimulus ini adalah berusaha menjauhkan anak dari bahaya ketergantungan gadget. Selama kelas berlangsung, sangat disarankan baik orang tua maupun pengajar tidak menggunakan gadget mereka yang akan menarik perhatian anak.
“Sama halnya dengan bahasa, sejatinya anak sudah memiliki fase sendiri kapan siap menerima pengenalan gadget, dan yang jelas bukan ketika mereka masih di usia belia, atau di bawah lima tahun. Pengenalan sedikit saja mungkin sudah cukup, jangan sampai berlebihan, bahkan kalau sulit mengontrol lebih baik tidak sama sekali, ” ujar Anggit, selaku kepala sekolah Omah Perden.
Hal inilah yang juga menjadi tantangan besar bagi pihak Omah Perden maupun orang tua yang mendampingi. Anak-anak akan disibukan dengan berbagai kegiatan, baik di dalam maupun luar kelas. Kegiatan di dalam kelas seperti bercerita, bernyanyi, menari, bermain alat musik. Sedangkan kegiatan di luar kelas seperti berkebun bersama, bermain air, melukis secara bebas, dan memasak di dapur mini yang sudah dipersiapkan. Dengan iming-iming objek menarik, akan membuat anak lupa keberadaan gadget yang mungkin bisa ditemukan secara bebas di luar Omah Perden.
“Kreativitas yang dipersiapkan dengan baik oleh Omah Perden sangat membantu kami orang tua. Seperti bahan-bahan masak ramah anak atau dedaunan yang bisa digunakan bermain yang sudah sangat sulit kami temukan di perkotaan,” ungkap Novi, salah satu orang tua yang mendampingi anaknya di Omah Perden.
Tim Omah Perden sendiri menginginkan anak-anak yang mengikuti kelas bisa bermain dengan bebas dan nyaman, seperti anak-anak jaman dahulu yang tidak mengenal gadget sama sekali. Semua mainan berasal dari alam, tanah, air, daun, kayu dan pasir-pasir pantai.
Hal lain yang patut menjadi perhatian dari sekolah ini adalah pentingnya partisipasi aktif orang tua. Di Omah Perden, seraya memberikan pelatihan pada anak, pengajar atau pendamping kelas juga fokus memberikan bimbingan kepada orang tua. Tujuannya adalah membentuk komunikasi dan hubungan yang baik antara anak dan orang tua. Wali murid yang menemani diberikan bekal hal-hal apa yang seharusnya mereka lakukan jika sang anak marah, menangis atau kurang aktif dalam berinteraksi dengan murid lain.
Pihak Omah Perden percaya, hubungan yang baik antara anak dan orang tua akan mempengaruhi perkembangan dan kepribadian anak. Di akhir kelas, guru mengadakan sesi sharing bersama wali murid. Program ini sangat bermanfaat untuk orang tua muda yang hidup di jaman serba modern ini. Mereka butuh bekal yang lebih agar sang anak tetap dapat tumbuh dengan sehat dan baik di tengah pesatnya kemajuan teknologi.
“Ke depannya, kami berharap Omah Perden mendapat dukungan dari berbagai pihak. Baik pemerintah maupun masyarakat umum. Semakin banyak agen-agen perubahan seperti Omah Perden di Indonesia, karena masih sangat sedikit sekolah yang menerpakan budaya seperti kami,” tutup Anggit.
Comentarios