top of page
Apa aja yang kita temukan soal pendidikan seks pada usia dini?

Udah beralih ke teknologi 4.0, masa mau gitu- gitu aja. Jurnalis juga harus ikutin!

KOMUNIKASI POLITIK PEMILU 2019 UNTUK MILENIAL

Writer's picture: magerdotcommmagerdotcomm

Updated: Dec 20, 2018

Autohor : Sinta Johan Kartika




Dinamika politik dan anak muda nampaknya menjadi isu hangat di dunia politik Indonesia saat ini. Pemilihan presiden dan pemilihan umum tahun 2019 nanti, adalah pesta politik yang akan banyak diikuti oleh generasi milenial. Bahkan, pemilihan presiden 2019 adalah pemilihan presiden pertama yang diikuti oleh kaum muda yang lahir ketika reformasi tengah berlangsung (1998). Hanta Yuda AR, dalam artikel berjudul Membaca Arah Pemilu Milenial, menyatakan bahwa 40 persen pemilih pada pemilu 2019 nanti, adalah masyarakat usia 17 hingga 35 tahun (milenial).


Fakta pemilu 2019 dan eksistensi milenial tersebut, turut menjadi motivasi kelompok politikus untuk mendapatkan hati dan suara generasi muda. Entah politikus yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat maupun pemimpin negara. Banyak fenomena yang menunjukan komunikasi politik para tokoh penting partai, sebagai bentuk usaha membangun relasi kuat dengan kaum muda. Beberapa contoh yang paling mudah dilihat dan dirasakan adalah meluapnya politikus yang aktif di media sosial. Tentunya media sosial yang banyak digandrungi milenial, seperti twitter, instagram, dan youtube. SBY dan tweet-tweetnya yang sering menjadi perbincangan, instagram dan vlog Jokowi yang banyak mendapat perhatian, hingga wakil DPR Indonesia Fadli Zon, dan kicauannya di twitter yang sering dinilai nyinyir.


Tidak cukup melalui media sosial, banyak strategi dan komunikasi politik lain yang mulai gencar dilaksanakan walaupun belum memasuki masa kampanye. Kedatangan Jokowi ke WTF, konser musik terbesar anak muda Indonesia, pembentukan personal branding Sandiaga Uno yang menarik perhatian kaum perempuan dan ibu-ibu, sampai kesuksesan Asian Games yang digadang-gadang menjadi media kampanye Jokowi. Pemanfaatan peluang pra-kampanye memang sudah terlihat tajam. Berbagai macam respon yang diberikan masyarakat, khususnya milenial rupanya menjadi cerminan hasil politikus mengenalkan diri kepada khalayak muda.


Komunikasi politik yang dibangun melalui media sosial dinilai cukup memberikan hasil. Seiring berjalannya waktu, topik politik mulai dilirik oleh milenial. Entah pembicaaraan serius di media online individu atau sekedar menjadi bahan candaan. Walaupun terdapat peningkatan pada ketertarikan topik politik, namun merebut suara milenial bukanlah hal yang mudah. Generasi milenial adalah generasi yang melek teknologi, generasi yang cukup berfikir kritis, cerdas menggunkaan internet, dan berpendidikan baik. Para pelaku politik harus lebih bekerja keras dalam merencanakan komunikasi politiknya.


Bukan hanya dikenal sebagai kaum canggih, milenial sekaligus para pemegang hak suara tersebut juga dianggap sebagai generasi galau politik. Galau karena pilihan mereka masih terombang-ambing, masih mencari dan mempelajari lebih dalam para politikus yang mencalonkan diri. Kebimbangan dalam menentukan suara juga ditambah dengan munculnya dua pasang calon presiden dan wakilnya yang sempat mengejutkan masyarakat. Wakil Jokowi dianggap tidak sesuai dengan generasi muda dan citra kurang unggul Prabowo yang sudah melekat di sebagian masyarakat luas. Masih banyak calon pemilih muda yang belum menentukan pilihannya untuk pemilu 2019.


“Belum punya pilihan pasti sih sampai saat ini. Karena masih bingung. Punya pasangan lain yang diinginkan, tapi ternyata enggak dicalonkan. Jadi ya masih liat-liat perkembangan besok ke depan, ” ungkap Prehapsari, mahasiswa Ilmu Komunikasi UPNVYK sekaligus salah satu pemegang hak pilih pemilu 2019.


Kesempatan para calon presiden dan partai politik untuk mendapatkan massa dari milenial tentunya masih terbuka lebar. Sejatinya walaupun begitu, seluruh pelaku politik dan media-media yang berada di belakangnya tetap harus berhati-hati dalam melakukan interaksi dengan pemilih muda. Informasi yang tidak berkualitas, pencitraan yang berlebihan, dan aksi-aksi menjatuhkan lawan, akan merugikan generasi muda serta pihaknya sendiri. Strategi dan komunuikasi politik tidak berkualitas akan berakhir dengan dua pilihan, antara sekedar menjadi angin lalu bagi kaum muda, atau membodohi dan merusak masyarakat Indonesia.

15 views0 comments

Comentarios


bottom of page