Author : Sinta J. Kartika
Bagi sebagian orang di Indonesia berbicara soal pendidikan seks pada anak dinilai masih tabu. Padahal memberikan edukasi seks dapat membantu anak untuk terhindar dari resiko pelecehan dan penyimpangan seksual. Melalui hal tersebut anak akan lebih mengenali fungsi tubuhnya, menghindari apa yang seharusnya tidak dilakukan, serta memahami konsekuensi dari tiap perbuatannya.
Pentingnya pendidikan seks tidak lepas dari peran orang tua, akan tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana memberikan pendidikan seks secara tepat pada anak. Ketiadaan pendidikan seks, memungkinkan timbulnya rasa penasaran yang mereka jawab dengan cara tidak sesuai norma. Akibatnya, penyimpangan seks pada anak terus terjadi. Seks bebas, pelecehan seksual, konsumsi seks dari teknologi yang tidak terkontrol, sampai munculnya penyakit seks menular.
Di Indonesia, angka seks pada remaja cenderung tinggi. Dikutip dari republika.co.id dr. Boyke Dian Nugraha mengungkapkan ada sekitar 40-60 persen remaja SMP dan SMA Indonesia yang telah melakukan hubungan seks. Pergaulan bebas mendorong meningkatnya jumlah aborsi yang tidak aman. Terdapat 2,3 juta prosedur aborsi yang dilakukan di Indonesia setiap tahunnya dan jumlah tersebut dapat meningkat hingga 3 juta. Tak berhenti disitu, kurangnya pendidikan seks yang tepat sejak dini juga membuat angka penyebaran HIV/AIDS di Indonesia cenderung tinggi.
Pendidikan seks dari kacamata psikologi memiliki definisi yang sangat luas, bukan sekedar aktivitas yang berhubungan dengan seksual. Mulai dari gender, kebersihan kelamin, kelamin itu sendiri, kehamilan, melahirkan, masuk dalam konteks pendidikan seks. Pendidikan seks idealnya diberikan kepada anak sedini mungkin, dimulai ketika seorang anak mulai bisa melakukan komunikasi dua arah atau biasa kita kenali ketika usia balita.
Banyak masyarakat Indonesia menganggap pendidikan seks adalah hal yang tabu karena tidak memahami cakupan dari pendidikan seks itu sendiri yang sangat luas. “Pendidikan seks dianggap tabu karena orang-orang berfikiran salah dan tidak tahu bahwa pendidikan seks bukan hanya mengenai aktivitas seks, namun juga banyak hal lain yang penting untuk diedukasikan pada anak,“ ungkap Anggi Astri, salah satu psikolog dari Kemuning Kembar ketika diwawancari oleh tim mager.com.
Menurut psikolog yang sering disapa Anggi ini, resiko dari kurangnya pendidikan seks di Indonesia tidak dapat digeneralisir, karena proses perkembangan anak berbeda-beda. Kondisi lingkungan di mana anak bertumbuh dan berkembang juga berbeda-beda. “Namun jika kita berbicara resiko paling parah dari kurangnya pendidikan seks yaitu sampai dalam tahap hamil di luar pernikahan,” jelas Anggi.
Perlakuan dalam memberikan pendidikan seks sangat beragam sesuai dengan usia anak itu sendiri. Untuk anak SD dan SMP, karena mereka sudah berada di dalam tahap selanjutnya, hal pertama yang dapat diajarkan adalah untuk mencintai diri mereka sendiri terlebih dahulu. Mengajarkan untuk menghargai diri mereka sendiri dan menyampaikan bahwa tidak semua orang boleh menyentuh dirinya, terutama pada area tertentu. Selanjutnya, anak juga dapat diberi pemahaman mengenai sebuah peran. Peran laki-laki dan perempuan dalam suatu kehidupan. Seorang anak perempuan memiliki peran yang mirip dengan ibunya, begitu juga dengan laki-laki yang memiliki peran mirip dengan sang ayah.
Banyak orang tua mengaku bingung dan kesulitan ketika harus memberikan pendidikan seks kepada anak balita mereka. Memberikan pendidikan seks pada anak untuk usia 2-3 tahun tentu berbeda dari anak usia SD dan SMP. Tahap pertama yang perlu dilakukan adalah memperkenalkan organ reproduksi kepada mereka. “Menyebut organ reproduksi sesuai nama aslinya, misal organ laki-laki penis, ya kita harus mengenalkan itu dengan kata penis. Masih banyak orang tua yang enggan mengenalkan dengan sebutan sesungguhnya. Hal tersebut dapat menimbulkan kesalahan jika anak sudah bergaul dengan orang lain nantinya,” ungka Anggi.
Tahap selanjutnya adalah mengajarkan anak tentang rasa malu dan bagian-bagian mana saja yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Tahap ketiga, adalah melatih anak untuk terbuka pada orang tua. Misal ketika anak mengalami sesuatu atau pelecehan, ia akan dengan mudah menceritakan dan jujur kepada orang tuanya.
Dalam dunia psikologi, keluarga merupakan agen pertama yang sangat berperan dalam memberikan seks pada anak. Maka dari itu, penting bagi seorang ayah dan ibu memiliki bekal dan pengetahuan yang benar mengenai pendidikan seks. Fakor pertama dari keberhasilan sebuah pendidikan seks pada anak adalah orang tua. Faktor kedua adalah institusi pendidikan, karena di beberapa negara seperti Jepang dan Korea, pendidikan seks sudah memasuki kurikulum. Sedangakn di Indonesia, walaupun ada yang sudah namun hanya secara sekilas dan cenderung masih membingungkan.
Comments