top of page
Apa aja yang kita temukan soal pendidikan seks pada usia dini?

Udah beralih ke teknologi 4.0, masa mau gitu- gitu aja. Jurnalis juga harus ikutin!

Wahyu Agung Prasetyo dan Film Barunya

Writer's picture: magerdotcommmagerdotcomm

Author : Amallia P.B. Utami

Berangkat dari komunitas film yang berbasis produksi, Wahyu Agung Prasetyo memulai perjalanannya menuju kancah perfilman Yogyakarta. Mendirikan rumah produksi Ravacana Films tahun 2015, Agung semakin giat dalam berkarya. Mak Cepluk (2014) menjadi debutnya dalam menjadi sutradara dan mendapat sambutan hangat di Yogyakarta. Disusul dengan filmnya yang berjudul Nilep (2016), Singsot dan Anak Lanang (2018). Tahun ini, menjadi tahun yang berbahagia untuk Agung dan kawan- kawan karena berhasil lolos pendanaan film Dana Keistimewaan (DANAIS) yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. Film yang berbicara mengenai menyebarnya kabar burung di kalangan ibu- ibu di perjalanan menjenguk seseorang yang sedang mereka bicarakan, menjadi gagasannya untuk karyanya tahun ini. Pria berumur 25 tahun ini menjadi salah satu contoh sutradara muda yang berhasil mendapatkan pendanaan sebesar 198 juta rupiah dari Dinas Kebudayaan. Karyanya akan turut mempertahankan Yogyakarta sebagai salah satu kota penghasil film independen.



Film- film mas sebelumnya, kan, memiliki protagonis anak- anak. Mak Cepluk, Singsot, Nilep, dan Anak Lanang. Sebenarnya yang mau disampaikan apa?

Perspektif dari aku, kalau kamu mau menyimpulkan bahwa film- filmku soal anak- anak, monggo. Tapi kalau dibalikin ke aku lagi, sebenarnya film- filmku ngomongin tentang perempuan. Kalo kamu lihat lagi film- filmku, semua dari Mak Cepluk sampai sekarang, itu semuanya isinya tentang perempuan. Kalau kamu mengamati, ya. Di Nilep, Mak Cepluk dan yang lainnya, itu, kan, yang akhirnya dominan adalah perempuan.

Sebenarnya, aku bikin film, nggak terkhusus harus bikin film anak- anak. Bahkan kalau ditanya, “habis ini mau bikin film apa?”, aku tidak tahu. Itu berlaku di semua karyaku. Hanya saja yang pertama kali muncul di otakku, ya, tentang anak- anak. Kalau pertama kali aku membuat Mak Cepluk, aku mencoba untuk menggali, apa, ya, yang kira- kira ada di aku? Karena aku waktu itu dipantik, selama 21 tahun hidup pasti mengalami cerita yang sangat banyak. Aku coba cari, apa yang menarik dalam hidupku? Akhirnya ketemunya Mak Cepluk, lalu Nilep. Terakhir, filmku yang ini, Tilik.


Kenapa soal perempuan, mas?

Mungkin gini. Aku pun baru sadar setelah aku bikin film Tilik. Kalau aku runut kebelakang, ternyata benang merahnya adalah perempuan. Kenapa? Mungkin alasannya karena aku hidup dengan ibu dan adik perempuanku. Setiap hari aku dengan Ellen, pacarku. Ternyata, hidupku sehari- hari dengan perempuan. Tanpa aku sadari, itu keluar di film- filmku.


Awal membuat film kapan dan tentang apa?

2011. Wah, nggak jelas itu filmnya. Tentang percintaan. Aku baru mengakui karyaku setelah Mak Cepluk, karena sebelum itu adalah karya- karya prosesku.


Perubahan apa yang paling dirasakan sejak awal membuat film di tahun 2011 sampai Mak Cepluk muncul?

Banyak sekali. Selama ini aku dapat pelajaran dan tekanan. Di komunitasku dulu, Ciko UMY, berkat senior- seniorku juga, ngatain aku nggak bisa bikin film dan segala macem, sekarang aku bisa buat film. Selain itu, lebih ke ide. Kalau era ku di Ciko, aku jengkel banget sama UPN dan ISI. Karena kalian membuat film teknisnya bagus- bagus. Sementara aku di kampus, tidak pernah diajarin teknis. Makanya bikin film jelek. Aku mikir, gimana caranya aku bikin film bagus. Kesimpulannya adalah, nyawa pertama sebuah film adalah ide cerita. Teknisnya bisa mengikuti.


Ciri khas dalam membuat film apa? Terutama ketika orang melihat, mereka akan langsung berkata, “Oh ini karyanya Wahyu Agung Praseyto,”

Komedi. Aku tidak bisa lepas dari komedi, karena sehari- hari aku senang humor. Aku suka ketawa dan cerita- cerita yang nyeleneh. Itu modalku membuat film. Kalau aku disuruh bikin film serius, mungkin nggak jadi. Ya, jadi. Tapi mungkin, ya, “Ah, hanya seperti itu,”




Mengenai film Tilik, sejak kapan memiliki ide film ini?

Sejak dua tahun yang lalu. Karena aku tahu kalau memproduksi film semacam ini membutuhkan biaya yang besar, maka itu aku ngejar Danais.

Sebenarnya, aku punya prinsip, kalau aku bikin film, gimana caranya aku memproduksi film dengan budget nol rupiah. Maka itu, aku mencari caranya, untuk tidak mengeluarkan uang dari kantongku sendiri.


Berapa lama membuat naskah film ini?

Sekitar 2 bulan.


Dari riset film Tilik, apa yang mas temukan?

Ketika ibu- ibu naik truk, untuk menjenguk tetangganya di kota, selama di perjalanan, mereka tidak berinteraksi. Mereka fokus pada keseimbangan mereka karena jalannya berliku- liku, selain itu karena berdesak- desakan. Satu truk bisa saja diisi 40 orang. Karena ini menjadi elemen drama untuk filmnya, muncullah yang seperti bisa kita lihat di film.

Lucunya, dari fenomena yang aku amati, mereka menjenguk bisa jadi tidak sampai 5 menit. Tujuan utama mereka bukan menjenguk, melainkan refreshing. Pertama aku mengetahui hal ini juga, “ini gimana sih, ibu- ibu?” Hahahaha. Dibalik itu, ternyata mereka disibukkan dengan keseharian mereka seperti ke sawah, mengurus anak, dan segala macam. Realitanya, yang menjenguk kebanyakan memang ibu-ibu. Mungkin ada bapak- bapak, hanya satu atau dua orang saja. Sedikitnya jumlah para bapak yang menjenguk disebabkan karena merekalah yang bergantian mengurus anak dirumah ketika para ibu pergi menjenguk.


Dalam pembuatan film Tilik, kendalanya apa saja?

Kalau sebelum produksi, mensinkronkan waktuku dengan penulis naskahku, Mas Bagus Sumartono. Aku mau merubah naskahnya, mau tidak mau harus duduk bareng dia.

Aku di push sama supervisor dari pihak Dinas Kebudayaan juga, tapi aku dapat ilmu banyak sekali. Seakan- akan aku dapat kuliah disini. Karena waktu di bangku universitas, aku tidak mendapat ilmu semacam ini.


Apakah cerita Tilik ini mengalami perubahan setelah diserahkan pada supervisor?

Iya. Sebelumnya, ending nya tidak seperti ini. Ide nya tidak ada yang berubah, hanya detailnya saja.

Setelah disupervisi, memang semakin baik. Karena awalnya aku merasa ceritanya sangat drama. Setelah di meja editing, ada beberapa bagian yang tidak dipakai. Kami syuting empat hari. Bagian yang diambil pada hari ke sekian itu tidak ada yang dipakai ketika pos produksi. Akibatnya, yang awalnya durasi 42 menit, dipotong menjadi 32 menit. Ya, mungkin kerugiannya, puluhan juta lah. Hehe. Jadi, final draft naskah itu hanyalah isu. Draft yang final, ya, yang sudah OK di meja editing, bagi aku. Hehehe.


Setelah dalam proses rendering, mungkin, ya, mas? Hahaha.

Nah. Itu baru final draft.


Menurut mas, yang membuat film bagus itu apa?

Semakin aku dewasa, aku semakin sadar, bahwa film tidak ada yang bagus dan tidak ada yang jelek.


Lalu?

Menurutku, tepat dan tidak tepat. Ketika aku bikin film seperti ini (Tilik), aku tontonkan kepada orang- orang yang suka surealis. Pasti mereka ngomong filmku jelek. Kalau aku tontonkan film- filmku kepada orang yang senang dengan film- film seperti Tilik, pasti mereka akan senang. Artinya, bagus dan jelek itu relatif, sebenarnya. Tinggal kita sebagai filmmaker menempatkan posisi film kita mau kemana.

Bukannya, sombong. Walaupun sudah beberapa kali aku mendapat penghargaan, aku merasa hampa; lalu kenapa kalau aku sudah mendapat penghargaan? Walaupun memang memberi impact, tapi, ya, begini- begini saja. Jadi makin kesini, nothing to loose aja. Kalau aku mau bikin ini, ya aku akan bikin ini. Perkara tidak lolos festival, tidak usah dipikirkan. Makanya, saat diskusi pertama kali film Tilik, aku bilang bahwa prioritas film ini bukan ke festival. Tapi ke orang- orang di desa yang mau aku berikan edukasi.


Berarti hal ini juga sangat mempengaruhi mas untuk membuat film, ya?

Iya. Bertahun- tahun aku di Jogja Asian Film Festival, aku mengenali, mana yang film festival, dan mana yang film bukan festival. Dan karya- karyaku ada di tengah- tengah. Karena aku membuat film tidak untuk diapresiasi oleh juri, melainkan oleh masyarakat yang bahkan tidak tahu mengenai film.


Apa yang paling menginspirasi mas untuk membuat film?

Aku flashback zaman dulu, waktu kelas lima SD, aku sempat mau bikin film. Aku ambil gambar menggunakan handycam, merekam temanku naik motor bolak- balik. Lalu aku mengedit video itu yang waktu itu harus di capture. Aku pikir, ini bukan sesuatu yang penting. Aku sempat ingin jadi pembalap dan pilot. Ternyata imajinasi ini yang bawa aku ke film.

Rasaku membuat film, itu seperti anak kecil yang selalu tidak diperbolehkan bermain PS, namun suatu hari diberi PS. Senang, bukan?


Film apa yang menginspirasi mas untuk bikin film?

Banyak, sih. Melalui film- film Nolan aku sangat terpengaruh. Walaupun film- film dia kebanyakan sains fiksi. Aku lebih ke kecerdasannya dalam membuat film. Tapi sampai saat ini orang terdekat yang mempengaruhi aku untuk bikin film, itu Ismail Basbeth. Ketika aku ngobrol sama dia, aku tidak ngomongin film, tapi kita ngomongin hidup. Kita bikin film kan ngomongin hidup, sebenarnya.

Itu yang menginspirasi ketika aku down, aku dapat suntikan energi dari mas Mail. Dia juga yang bilang kalau aku harus lebih banyak lagi membaca buku. Stop dulu sementara bikin film, lalu baca buku. Dia role modelku sekarang, karena aku banyak belajar dari pengalaman dia.

219 views0 comments

Comments


bottom of page